Rabu, 30 September 2009

spritualitas perjanjian lama

SPIRITUALITAS DALAM PL*)
YEREMIA
Sang Pahlawan Iman
by
joni tapingku

Apakah spiritualitas itu?
Kata "spiritualitas" berasal dari kata Latin "spiritus" yang dapat diartikan sebagai "roh, jiwa, sukma, nafas hidup, ilham, kesadaran diri, kebebasan hati, keberanian, sikap dan perasaan".[1] Selain itu kata spiritus juga dapat mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni.[2]
Eka Darmaputera mengartikan "spiritualitas" itu dengan pengalaman agama (religious experience). Pengalaman berjumpa dengan Yang Illahi, Sang Maha Lain (the Wholly Other - Rudolf Otto), Sang Kudus (The Sacred - Emile Durkheim) sehingga menimbulkan suatu perasaan yang oleh Rudolf Otto dilukiskan sebagai mysterium fascinans et tremendum, suatu perasaan misterius yang susah dilukiskan karena ia merupakan campuran dari perasaan gentar namun juga penuh pesona yang amat memukau. Sama seperti yang dialami oleh Petrus dan kedua orang rekannya yang lain ketika mereka menyaksikan Yesus yang berubah wajah dan pakaianNya dan tengah berbincang-bincang dengan Musa dan Elia (Mat. 17:1-13). Pengalaman ini tidak mungkin ditularkan ataupun diturun-alihkan, karena ia merupakan suatu pengalaman yang amat pribadi. Penerusan pengalaman itu hanya mungkin dilakukan melalui agama beserta dengan tradisinya. Bagi Eka, pengalaman agama hanya terjadi satu kali saja, sama seperti api cukup sekali dinyalakan. Tugas kita adalah menjaga agar kehangatan api itu terus dapat dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu pengalaman agama tersebut haruslah senantiasa direvitalisasikan, disegarkan kembali, yaitu melalui keikutsertaannya dalam ibadah (ritual) dan dengan cara selalu memperbarui relevansi dari (doktrin, dogma) agama itu sendiri. Tanpa relevansi tersebut hangatnya api akan hilang dengan sendirinya, dan agama hanya akan tinggal menjadi abu saja.[3]
Sedangkan Ioanes Rakhmat berpendapat bahwa bila spiritualitas itu dikaitkan dengan kekristenan, maka hal itu menunjuk pada intensitas atau kedalaman hubungan orang itu dengan Roh Yesus Kristus atau Roh Kudus yang menjadi landasan dan sumber pembentukan jati dirinya yang dinampakkan dalam sikap dan perilaku hidupnya terus menerus. Dengan kata lain Ioanes Rakhmat mau mengatakan bahwa hubungan seseorang dengan Roh Yesus atau Roh Kudus akan menentukan kehidupan etika orang itu.[4]
Sementara itu Stark dan Glock berpendapat bahwa spiritualitas tidak lain adalah suatu komitmen religius, suatu tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Dalam hal ini Stark dan Glock mempunyai pendapat yang merangkum baik pendapat Eka maupun Ioanes Rakhmat.[5]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas bukan berarti kerohanian, seperti dalam arti: persekutuan pemuda/mahasiswa mempunyai seksi kerohanian. Spiritualitas bukan berarti fanitisme beragama, sikap hiper-religius, yaitu menjalankan dan menonjolkan hidup keberagamaan secara berlebihan. Sipritualitas bukan juga berarti beragama secara emosional yang mengungkapkan emosi dan sentiment religius secara mencolok, misalnya dengan menangis, menari, berteriak atau lainnya. Spiritualitas bukan kesalehan atau upaya untuk hidup saleh. Spiritualitas juga bukan askese atau sikap hidup yang menjauhkan diri dari hidup yang duniawi.[6]
Spiritualitas adalah kualitas gaya hidup seseorang sebagai hasil kedalaman pemahamannya tentang Allah secara utuh. Artinya: Allah dipahami sebagai yang berada jauh di atas, tetapi juga sekaligus yang berada dekat di hati.
Spiritualitas tidak sama dengan agama walaupun keduanya saling menunjang. Bahkan dalam Bahasa Jawa, agama diartikan sebagai ”ageman” atau pakaian yang kita pakai. Apa pun agama kita, yang terutama justru siapa roh kita sebenarnya. Jadi apa pun agama kita, status sosial ekonomi, suku, ras, golongan, kebangsaan dan tingkat pendidikan kita, tidaklah menjadi yang utama. Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat ilahi. Termasuk memiliki kemampuan sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan.[7]

Spiritualitas Yeremia
Kajian ini difokuskan pada Yeremia 20:7-18,[8] salah satu pengakuan Yeremia yang sangat penting bahkan boleh dapat dikatakan sebagai puncaknya pengakuannya, yang merupakan gambaran pergumulan paling pahit Yeremia selama ia menjalankan tugas panggilan dan pelayanannya sebagai nabi, dan yang penulis anggap relevan dengan topik yang sedang dibahas.

Pahlawan iman
Dalam pengakuan ini Yeremia mau menegaskan otoritas spiritualnya.[9] Siapan pun yang memiliki prinsip kuat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya pasti memperjuangkan kebenaran dalam menentang berbagai kejahatan. Orang yang benar dan bijaksana dan siap menanggung penderitaan, dan sekalipun mengutuk hari kelahirannya, akan terbukti di suatu hari nanti. Ada ahli yang menyebut sebagai “happy ending”. Dengan demikian keputusasaan dan ketiadaan harapan Yeremia bukanlah kata yang terakhir.
Adalah wajar untuk mengatakan bahwa Yeremia berjuang bersama dengan tugas panggilannya. Memberitakan firman Tuhan adalah hal yang tidak bisa ditangguhkan sekalipun harus membuat dirinya terisolasi dari masyarakat (Yer. 15:10-19) bahkan keluarganya sendiri (Yer. 11:18-23) dan membuat dirinya dicemooh dan diejek oleh semua orang (ay. 7,8).
Kebenaran firman Tuhan telah menghancurkan kredibilitasnya sebagai seorang manusia di mata orang yang hidup pada zamannya; firman Tuhan telah membuatnya masuk ke dalam suatu pendirian yang tidak masuk akal; firman Tuhan telah membuatnya menjadi bahan ejekan dan telah merasakan bahwa karakternya telah dibunuh dalam proses pemenuhan panggilan kenabiannya. Dengan demikian ia telah mengucapkan kebenaran yang bertentangan dengan kehendaknya, ia ditanggalkan dari semua kepercayaan dan kesengguhannya sebagai seorang manusia, dan kehadirannya menjadi tertawaan semata.
Nada yang hampir sama juga dikemukakan oleh sebagian ahli dalam ungkapan yang bervariasi.[10] Levenson,[11] khusus dalam penelitiannya mengenai Yeremia 20:9, menyebut frase ini sebagai keluhan nabi yang klasik: melayani firman Tuhan, tapi tidak dilayani oleh firman Tuhan. Walaupun diberi kuasa untuk mengucapkan penghakiman ilahi, namun ia sendiri dipaksa demi keadilan ilahi. Ia menjadi korban dari semua yang ia sebutkan. Ia yang seharusnya menikmati firman Allah (Yer. 15:16) dan berusaha untuk memberitakannya (Yer. 20:8), ternyata menemukan dirinya dalam keletihan (Yer. 20:9).
Dari pengakuan ini, kita menemukan dua makna yang terkandung dalam ayat 9. Pertama, di satu pihak, Yeremia dimandatkan untuk berbicara melawan Yerusalem, tapi pemberitaannya menimbulkan kebencian yang mendalam (ay. 8). Di pihak lain, ketika ia berbicara demi menghindari kekerasan dan kekejaman, ia bahkan semakin merasakan kekalutan dalam dirinya (ay. 9). Yeremia hanya memiliki dua alternatif, dan tidak satu pun yang dilakukan. Ketika ia berbicara, Tuhan tidak mendukungnya. Ketika ia berdiam diri, Tuhan tidak mendorongnya. Inilah pergumulan Yeremia yang paling hebat karena ia harus melawan dirinya sendiri. Yeremia sama sekali tidak menyukai berita yang harus ia sampaikan itu. Tetapi tidak ada jalan lain ia harus menyampaikannya. Yeremia tidak melarikan diri tetapi justru memasuki dan merangkul konflik itu di dalam batinnya. Ia bertahan, berjuang, dan berperang di sana. Tugas berat ini hanya dapat dilakukan dengan solidaritas Tuhan, sekalipun itu nampak dalam bentuk penderitaannya.
Ia memiliki beban yang menimbulkan kekaguman Tuhan, tetapi kekuasaan Tuhan sendiri tidak menyertainya. Tuhan memberi mandat tapi tidak memberi dukungan yang nampak. Kedua, ayat ini menunjukkan keharusan Yeremia untuk terus memberitakan kekuasaan Tuhan dan kebenaran firman-Nya, walaupun diperhadapkan dengan berbagai penderitaan yang mendalam. Keharusan itu tidak membatalkan konflik yang mendalam pada diri Yeremia. Ketika Yeremia berbicara demi menghindari kebencian, ia bahkan semakin merasakan kekalutan karena firman Tuhan bagaikan nyala api yang memaksanya. Kesedihan dan kekalutan dalam batin nabi justru semakin menjelaskan penglihatannya tentang kebenaran firman Tuhan. Dalam semua konflik itu menjadi nyata bahwa firman Allah bukan perkataan manusia. Kekuatan Tuhan lebih besar dari kekuatan Yeremia dalam menjalankan tugas panggilannya sebagai nabi. Keharusan untuk menjalankan tugas panggilannya tidak dapat dielakkan.
Yeremia terus berjalan hingga akhir sebagai nabi. Firman Tuhan yang hampir menghancurkannya, juga menyertainya sepanjang jalan ke mana saja dia pergi. Dengan demikian pengakuan ini memberikan gambaran yang berani mengenai nabi Yeremia sebagai pahlawan iman.

Solidaritas Nabi
Pergumulan Yeremia yang paling dalam dimulai pada ayat ini. Yeremia merana seperti wanita muda yang diperkosa oleh seorang laki-laki (Kel. 22:16; Ul. 22:25), dan merasa tertipu seperti nabi-nabi palsu pada masa pemerintahan raja Ahab (bnd. 1 Raj. 22:19-23). Ia berkata kepada Tuhan: “Engkau telah menipu” (ay. 7).
Tidak dapat dielakkan sejumlah pertanyaan yang muncul: Bagaimana pengartian kata itu, yang mungkin dapat diartikan suatu hujat: apakah Tuhan mengelabui nabi-Nya sendiri menurut nabi itu sendiri? Apa sebabnya Yeremia mengucapkan kata-kata itu? Atau, apa sebabnya Yeremia memilih kata-kata yang extrim itu?[12] Apakah bahasa penipuan pada 7 merupakan isu teologis yang penting dari Yeremia? Dalam arti apa kita dapat memahami tuntutan Yeremia kalau Allah telah “menipu” dirinya? Bagaimana bisa Allah menipu Yeremia untuk percaya dan memberitakan datangnya malapetaka melalui musuh dari utara, sementara pada saat Yeremia mengeluh, hal itu tidak terjadi?
Kalau kita memperhatikan Yeremia 20:7-9, yang sudah jelas bagi kita hanyalah, bahwa Tuhan menguasai nabi sepenuhnya. Selebihnya masih memerlukan pendekatan yang mungkin harus ditentukan oleh pertanyaan tersebut di atas. Pertanyaan yang segera dapat dikemukakan ialah, bagaimana efek firman Tuhan terhadap nabi, yang dikatakan di sini “telah menjadi cela dan cemooh” baginya, dapat dicocokkan dengan pengakuan nabi itu sendiri seperti dalam Yeremia 15:16?:
“Apabila aku bertemu dengan perkataan-perkataan-Mu, maka aku menikmatinya; firman-Mu itu menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku ...”.

Ucapan ini berasal dari yang terpukau oleh yang sangat dikasihinya, dan sekaligus terhibur oleh yang sepenuhnya dipercayainya. Tuhan menguasai dia sepenuhnya dan menimbulkan adorasi padanya.[13]
Kata yang luar biasa itu, pth piel, digunakan dalam Hosea 2:13 untuk Tuhan, dengan arti “membujuk” umat-Nya dengan tujuan “berbicara kepada hatinya”, cara suami berbicara kepada istrinya yang dikasihinya.[14]
Jadi bagi Yeremia sendiri, yang tidak kekurangan adorasi, adalah janggal sekiranya ada penipuan ilahi. Dalam hubungan kasih dan iman ptta bukanlah menipu, namun demikian kata luar biasa itu sekaligus menunjuk kepada suatu dimensi lain yang delikat, yang menyertai penyerahan diri sepenuhnya dari pihak yang lemah kepada pihak yang lebih kuat. Daya tarik dari pihak yang kuat itu harus begitu besar, dan penyerahan diri dan kepercayaan dari pihak yang lemah itu harus begitu teguh, untuk selanjutnya dapat bertahan hidup dalam keadaan yang selalu disertai dimensi lain itu. Sekiranya kata luar biasa itu mengandung unsur penipuan, maka yang dikorbankan ialah pihak yang lemah, yang telah menyerahkan dirinya dengan segala risikonya. Kalau demikian halnya, lebih baik kita berkata tentang tragedi kegagalan.[15]
Apa yang dimaksudkan dengan dimensi lain itu? Dalam segala kekerasan pemberitaannya, di tengah-tengah perlawanan seru dalam menghadapi bangsanya, yang disebut perang menurut stipulasi Tuhan, nabi itu tidak mungkin merasa lepas dari bangsanya. Oleh karena itu, yang dicari oleh pujangga untuk menampung ketaatan sepenuhnya kepada Yahwe dan sekaligus menampung solidaritas nabi terhadap bangsanya bukanlah hujat atau kata-kata kurang hormat dari kata-kata yang luar biasa itu.[16]
Yang hendak dikatakan di sini ialah bahwa ada warisan yang tidak dapat dibekukan, yaitu warisan tali batin dari pihak nabi terhadap bangsanya, sementara kesempurnaan firman Tuhan itu menjadi kenikmatan, kegirangan, dan kesukaan baginya sementara kekuatan dan kemampuan kehendak ilahi itu tidak dapat dibendung, sekalipun menimbulkan reaksi sinis dari lingkungan penerima firman Tuhan itu, dan akhirnya dalam solidaritas dengan kesalahan bangsanya merupakan sumber pegumulan bagi nabi itu sendiri.[17]
Dengan demikian, sekalipun ada nuansa penipuan dalam ayat ini, namun Yeremia bukanlah menghina dan menghujat Tuhan. Dalam ketertekanannya sebagai pihak yang lemah, ia menuduh Tuhan seperti aliran yang curang dan tidak dapat dipercayai (Yer. 15:18).[18] Janji tinggal janji. Kenyataan yang dialami Yeremia bertolak belakang dengan janji Tuhan seperti ketika ia dipanggil menjadi nabi (Yer. 1:4-18).[19] Pelayanannya sebagai seorang nabi dalam memberitakan kebenaran firman Tuhan ternyata tidak mendatangkan apa-apa baginya, kecuali menjadikan dirinya sebagai korban kekerasan, tertawaan dan olok-olokan.
Yeremia tetap meyakini kalau seluruh Yehuda bukan menghina, mengolok-olok dan melawan dirinya, melainkan melawan Allah sendiri, yang akan menuntut pembalasan atas penghinaan yang ia alami sepanjang hidupnya. Dalam penderitaannya, Yeremia tidak berbicara sebagai seorang diri, melainkan atas kebersamaannya dengan. Ia tidak ragu-ragu menghubungkan Allah dengan dirinya, sehingga penghinaan itu tertuju kepada mereka berdua. Von Rad sudah menyatakan bahwa penderitaan Yeremia merupakan solidaritas penderitaan Allah karena ketaatannya kepada perjanjian Allah semata. Ia menyebut perjalanan panjang penderitaan Yeremia dengan apa yang ia namakan via dolorosa.[20] Inilah yang diinterpretasikan oleh Heschel sebagai suatu partisipasi dalam penderitaan ilahi,[21] dan oleh Janzen sebagai partner perjanjian yang ditinggalkan.[22]
Yeremia mengalami penderitaan luar biasa sepanjang hidupnya), karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh seluruh umat, terutama para pemimpin mereka, yang justru telah melanggar perjanjian Allah. Jika Yeremia menuduh Tuhan sebagai sumber atas penderitaannya, maka hal itu merupakan penegasan Yeremia tentang kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dipahami oleh Yeremia sendiri.[23] Von Rad juga mengatakan bahwa seperti nabi-nabi lainnya, Yeremia juga merasakan kalau ia dipaksa oleh kekuatan yang melebihi kehendaknya sendiri. Nabi Yeremia sebenarnya tidak dapat mempersalahkan dirinya sendiri: kekuatannya dan kekuatan Tuhan sangatlah berbeda.[24]
Dalam pengakuannya, Yeremia hendak menyatakan hubungan timbal balik dengan Tuhan yang diliputi kemesraan batin tanpa mungkin merasa terlepas dari bangsanya, yang berada dalam konflik dengan perjanjian ilahi. Menurut Ihromi,[25] kita harus dapat memperhatikan dimensi solidaritas nabi pada bagian ini, sementara kita berhadapan dengan pemebritaan-pemberitaan hukuman yang disampaikan oleh nabi yang begitu tak kenal kompromi. Dari kegiatan-kegiatan Yeremia yang terutama diceritakan dalam bagian-bagian prosa dari Kitab Yeremia dapat kita perhatikan pula, bahwa ia sangat melibatkan diri dalam persoalan-persoalan yang aktual di tengah-tengah bangsanya. Kita dapat duga corak kegiatannya yang melihat lebih dari orang-orang sezamannya laingit makin mendung di ruang hidup solidaritas bangsanya.
Pergumulan Yeremia yang dilukiskan dalam pengakuannya baru dapat kita pahami, apabila nabi itu berbicara atas nama Tuhan (Yer. 20:9) sekaligus tidak dapat dipisahkan dari bangsanya.
Ayat 14-18 menegaskan kembali solidaritas nabi dengan bangsanya dalam realitas kekerasan. Menurut Ihromi,[26] resiko untuk meninggalkan kesan yang sangat merendahkan nabi masih dapat ditahan oleh Yeremia. Yang tidak dapat ditahan oleh itu nabi itu ialah apa yang disaksikannya pada senja hidupnya, yaitu penghancuran bangsanya pada tahun 587 sM. Kutukan pribadi dicetuskan dalam penderitaannya demi kematian bangsanya yang tak tertolong lagi. Dengan demikian penempatan syair ketiga ini pada komposisi itu dapat dilihat sebagai ekspresi yang lebih parah dari pada keluh kesah karena jabatan dan rasa kegagalan, sementara nabi masih mempunyai kesempatan untuk memberi peringatan kepada bangsanya.[27]
Dari pergumulan Yeremia yang merupakan sari dari sejarah hidupnya kita dapat simpulkan pula bahwa kesepian masih ditahan, selama kesempatan ada untuk memberikan peringatan sebagai ekspresi solidaritas nabi; kesepian tak tertahan, sesudah kesempatan itu tidak ada lagi.[28]
Kita dapat bertanya, apa sebabnya Yeremia, yang juga mampu meluapkan hatinya yang hangat dalam keyakinannya yang teguh mengenal pembaharuan perjanjian (Yer. 31:31 dst.), dalam keterlibatannya dengan kenyataan hidup ia begitu garam (bnd. Yer. 15:17)?
Paling sedikit kita harapkan berita kegairahan Yeremia atas suatu perumusan Deuteronomis yang berasal dari zamannya, yang begitu azasi untuk solidaritas. Permusan itu dapat kita singkatkan: Engkau bekas budak di Mesir; jangan memperbudak siapa pun, termasuk mereka yang lemah dalam masyarakat (bnd. Ul. 5:15; 15:15; 24:18). Ini adalah penyimpulan pengalaman sejarah yang dapat mengabdikan bangsanya sebagai sumbangan universal. Sekalipun pembebasan itu sudah terjadi beratus-ratus sebelumnya, namun peringatan yang diarahkan kepada diri sendiri itu tetap diaktualisasikan. Peringatan pembebasan itu merupakan suatu sumbangan positif pada zaman pembaharuan tekad di sekitar tahun 622 s.M., kira-kira lima tahun setelah Yeremia mulai melibatkan diri dengan masalah-masalah kekerasan dalam masyarakatnya (bnd. Yer. 25:3).[29]
Kitab Yeremia 34:8-34 memang menyinggung tentang maklumat raja Zedekia, raja terakhir dari kerajaan Yehuda (bnd. 2 Raj. 24:17-25:7): maklumat pembebasan untuk melepaskan budak-budak belian dalam masyarakat. Sambutan ilahi dinyatakan dalam ayat 15:
“Hari ini kamu telah bertobat dan melakukan apa yang benar di mata-Ku karena setiap orang memaklumkan pembebasan kepada saudaranya, dan kamu telah mengikat perjanjian di hadapan-Ku di rumah yang atasnya nama-Ku diserukan”.
Sambutan tersebut diucapkan oleh Yeremia. Tetapi nabi ini kemudian mengucapkan sesuatu yang tentu menyakiti hati-hati orang-orang yang lain secara mendalam sekali. Lebih-lebih orang-orang terkemuka, termasuk para rohaniwan (ay. 9) tidak mungkin dapat memaafkan dengan mudah penghinaan, bahwa mereka menajiskan nama Allah (ay. 16).[30]
Yeremia geram disebabkan kegagalan usaha solidaritas itu, karena tekad, niat, dan nazar dengan membawa-bawa nama Tuhan untuk rela membebaskan anggota masyarakat dari kekerasan, tidak direalisasikan. Tetapi dalam geramnya, Yeremia tidak pernah meninggalkan bangsanya. Kepada raja Yoyakim pada masa hidupnya ia hendak mengatakan bahwa ia bersusah payah memberikan peringatan selama 23 tahun (Yer. 25:3), kemudian pada detik-detik terakhir dari sejarah bangsanya, Yeremia sebagai tahanan penjara istana tetap mencoba hendak menolong raja dan bangsanya (bnd. Yer. 38).[31]
Solidaritas nabi dinyatakan dalam keterlibatan nabi dengan bangsanya tanpa diminta lagi, dan sekalipun ditolak. Menurut Mihelic,[32] seluruh hidup dan penderitaan Yeremia merupakan ekspresi kehendak Allah bagi umat-Nya. Sehingga dengan memasuki pengakuan Yeremia kita dapat melihat bukan hanya penderitaan nabi yang paling dalam, tetapi juga penderitaan Allah sekaligus, yakni Allah yang merendahkan diri-Nya untuk menderita bersama-sama dengan manusia yang mengalami penderitaan di dunia ini. Heschel[33] menyebut penderitaan Yeremia sebagai solidaritas penderitaan Allah, atau yang oleh Janzen[34] sebagai solidaritas perjanjian Allah. Tanda yang terbesar dari pada solidaritas Allah dengan manusia ialah kematian Kristus di kayu salib.
Hanya dengan memandang kepada solidaritas perjanjian Allah, maka kekerasan dapat diredam dan ditanggulangi. Yeremia menderita korban kekerasan justru karena ketaatannya kepada penderitaan Allah, dan sekaligus karena solidaritasnya dengan mereka yang menderita korban kekerasan.


Joni Tapingku


























_____________________________________________________
*) Disampaikan pada kegiatan Pengembangan Spiritualitas Mahasiswa tanggal 7 – 9 Desember 2007 di Wisma Tikala Indah – Barana’.






h. Ayat 8

Sebab setiap kali aku mau mengucapkan firman, terpaksa aku berteriak, terpkasa aku berseru: “Kekerasan dan Kehancuran!” Sebab firman TUHAN telah menjadi bagiku bahan celaan dan ejekan setiap hari.

Frase dvow" sm'x', “kekerasan dan kekejaman”, mempunyai implikasi yang membingungkan. Para ahli telah mengemukakan empat kemungkinan berbeda yang menunjuk kepada frase tersebut. Pertama, nubuat Yeremia tentang penghukuman Tuhan atas bangsa itu: Tuhan akan mendatangkan “kekerasan dan kekejaman” atas mereka (Rodolph, Berridge, von Rad).[35] Kedua, pengaduan Yeremia tentang dosa-dosa umat itu: umat terus melakukan “kekerasan dan aniaya” (Notscher: 158; band. Yer. 6:7).[36] Ketiga, keluhan Yeremia kepada Tuhan tentang “kekerasan dan aniaya” yang dilakukan oleh para penentang yang memperlakukannya secara kejam.[37] Keempat, keluhan Yeremia tentang “kekerasan dan kekejaman” yang Tuhan telah lakukan kepadanya.[38]
Saya berpendapat bahwa frase dvow" sm'x', “kekerasan dan kekejaman”, harus dipahami dalam konteks sosial yang dihadapi oleh Yeremia saat itu. Itu berarti bukan menunjuk kepada penghukuman Tuhan di masa datang, dan bukan juga menunjuk kepada kekerasan dan kekejaman Tuhan atas diri Yeremia (kemungkinan pertama dan keempat), melainkan menunjuk realitas kekerasan dan kekejaman yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Yehuda saat itu (kemungkinan kedua dan ketiga). McKane[39] juga mengatakan bahwa tidak ada bukti alkitabiah yang lain bahwa hamas wasod menunjuk secara khusus kepada malapetaka masa depan. Frase itu menunjuk kepada keputusasaan Yeremia yang paling dalam mengenai kondisi moral yang sedang terjadi di tengah-tengah komunitas Yehuda: ketidakadilan, pelanggaran hukum dan penganiayaan. Von Rad[40] sudah menyatakan bahwa sm'x' berhubungan erat dengan teriakan seseorang yang menderita karena ketidakadilan (bnd. Ayb. 19:7; Hab. 1:2). Jadi, jika Yeremia meneriakkan dvow" sm'x', maka hal itu menunjuk kepada penderitaan yang ditimbulkan oleh kekerasan, karena tidak ada lagi keadilan hukum. Yeremia memasuki kondisi itu dan ikut menjadi korban di dalamnya, karena ia taat kepada panggilannya.
Weiser[41] melihat kekerasan dan kekejaman yang terjadi pada masa Yeremia sama dengan yang dihadapi oleh Yehezkiel, Amos dan Habakuk. Hal ini tergambar dari ungkapan Yeremia sebagai berikut:
“Sepereti mata air meluapkan airnya, demikianlah kota itu meluapkan kejahatannya. Kekerasan dan aniaya terdengar di dalamnya, luka dan pukulan selalu ada Kulihat” (Yer. 6:7)

“Beginilah firman Tuhan ALLAH: ‘Cukuplah itu, hai raja-raja Israel, jauhkanlah kekerasan dan aniaya, tetapi lakukanlah keadilan dan kebenaran; hentikanlah kekerasanmu yang mengusir umat-Ku dari tanah miliknya, demikianlah firman Tuhan ALLAH” (Yeh. 45:9).

“‘Mereka tidak tahu berbuat jujur,’ demikianlah firman TUHAN, ‘mereka itu yang menimbun kekerasan dan aniaya di dalam purinya’” (Am. 3:10)

“Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian” (Hab. 1:3).

Ayat-ayat di atas jelas mengungkapkan tentang penindasan oleh rezim yang tidak adil. Sedangkan dalam Yeremia 20:8, nabi mewakili mereka yang menderita karena tindakan kekerasan oleh rezim yang tidak adil itu.
Frase dvow" sm'x' merupakan teriakan keputusasaan yang sangat mendalam tentang penderitaan akibat kekerasan dan kekejaman yang dialami, bukan hanya oleh Yeremia tetapi juga oleh seluruh bangsa, dan bahkan Allah sendiri. Kondisi yang demikian parah ini dapat dibandingkan dengan situasi pada masa pemerintahan Yoyakim.[42] Seperti sudah saya singgung pada ayat 3, pada masa inilah terjadi puncak kekerasan di segala bidang kehidupan bangsa Israel. Calvin[43] menggambarkan parahnya kondisi saat itu ketika ia mengatakan bahwa Yeremia melihat umatnya keras kepala, dan begitu banyak hal buruk yang tidak dapat diperbaiki lagi. Yeremia meneriakkan kekerasan dan kekejaman dengan suara keras, karena tidak ada lagi rasa hormat kepada Tuhan, bahkan Allah diprovokasi. Ia tidak melihat adanya hasil dari pekerjaannya, melainkan orang dibuat lebih biadab, dari pencuri menjadi perampok, dan dari penghina menjadi bajingan.
Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa Yeremia bukan secara kebetulan menggunakan kata sm'x' dalam pengakuannya (Yer. 20:8), tetapi sebenarnya ia berhadapan dengan suatu kenyataan kompleks mengenai kekerasan pada masanya. Saya berpendapat bahwa kekerasan yang dimaksudkan oleh Yeremia di sini adalah juga kekerasan dalam pengartian umum seperti sudah saya bahas pada bagian pendahuluan (hlm. 14-15). Kekerasan saat itu bukan hanya merupakan realitas sosial, melainkan dirinya sendiri menjadi korban kekerasan. Ia selalu menjadi sasaran kekerasan penghinaan dan cemoohan, justru karena ia taat terhadap tugas panggilannya. Sebuah penderitaan, karena Allah menderita.

i. Ayat 9

Tetapi apabila aku berpikir: "Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya", maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang membakar, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup.


Beban menjadi sangat berat karena Yeremia akhirnya memutuskan untuk tidak lagi melayani sebagai seorang nabi. Frase Amv.Bi dA[ rBed;a]-al{w> WNr,K.z>a,-al{ yTir>m;a'w>, “Aku akan melupakan Dia dan tidak akan berbicara lagi demi nama-Nya”, diinterpretasikan oleh Weiser sebagai pendurhakaan Yeremia, dan kesadaran Yeremia bahwa ia tidak mampu mempertahankan pembungkaman ini sebagai perasaan bersalahnya. Sedangkan Rudolph menginterpretasikannya dengan mengatakan bahwa perasaan “keharusan” merupakan ucapan kenabian yang asli. Rudolph berkomentar, “Nabi tidak dapat melakukan apa yang ia akan lakukan, tetapi ia harus mengucapkan, bahkan ketika ia tidak mau melakukan hal itu”.[44]
McKane[45] mendukung pandangan Rudolph dengan mengatakan bahwa istilah “keharusan” yang ditonjolkan Rudolph dapat membuat kita memahami misteri pengalaman kenabian dan sifat dasar pewahyuan Allah. Keharusan yang digerakkan oleh “kebenaran” atau “firman Tuhan” tidak secara sederhana mengalahkan atau membatalkan konflik yang mendalam: semua unsur kesedihan dan kekacauan dalam batin nabi adalah perlu untuk melihat kebenarannya. Dalam hal ini menjadi nyata bahwa firman Allah bukan perkataan manusia. Jika kata-kata itu membentuk suatu “pewahyuan”, maka kata-kata itu harus bermula dari pertemuan antara nabi dan Allah. Tetapi hubungan antara pertemuan ini dan pemberitaan nabi adalah tidak gampang. Pengalaman yang sangat menarik dengan Allah merupakan misteri dan bahkan tak terlukiskan. Signifikansinya hanya bisa dijangkau melalui suatu proses “penerjemahan” ke dalam bahasa pengalaman dan penyaringan manusia.
Alasan-alasan lain yang dikemukakan oleh McKane ialah bahwa Yeremia tidak mau menyampaikan kebenaran itu, karena ia tidak lagi bisa menahannya. Kebenaran firman Tuhan telah menghancurkan kredibilitasnya sebagai seorang manusia di mata orang yang hidup pada zamannya; firman Tuhan telah membuatnya masuk ke dalam suatu pendirian yang tidak masuk akal; firman Tuhan telah membuatnya menjadi bahan ejekan dan telah merasakan bahwa karakternya telah dibunuh dalam proses pemenuhan panggilan kenabiannya. Dengan demikian ia telah mengucapkan kebenaran yang bertentangan dengan kehendaknya, ia ditanggalkan dari semua kepercayaan dan kesengguhannya sebagai seorang manusia, dan kehadirannya menjadi tertawaan semata.
Nada yang hampir sama juga dikemukakan oleh sebagian ahli dalam ungkapan yang bervariasi.[46] Levenson,[47] khusus dalam penelitiannya mengenai Yeremia 20:9, menyebut frase ini sebagai keluhan nabi yang klasik: melayani firman Tuhan, tapi tidak dilayani oleh firman Tuhan. Walaupun diberi kuasa untuk mengucapkan penghakiman ilahi, namun ia sendiri dipaksa demi keadilan ilahi. Ia menjadi korban dari semua yang ia sebutkan. Ia yang seharusnya menikmati firman Allah (Yer. 15:16) dan berusaha untuk memberitakannya (Yer. 20:8), ternyata menemukan dirinya dalam keletihan (Yer. 20:9).
Dengan demikian, kita menemukan dua makna yang terkandung dalam ayat 9. Pertama, di satu pihak, Yeremia dimandatkan untuk berbicara melawan Yerusalem, tapi pemberitaannya menimbulkan kebencian yang mendalam (ay. 8). Di pihak lain, ketika ia berbicara demi menghindari kekerasan dan kekejaman, ia bahkan semakin merasakan kekalutan dalam dirinya (ay. 9). Yeremia hanya memiliki dua alternatif, dan tidak satu pun yang dilakukan. Ketika ia berbicara, Tuhan tidak mendukungnya. Ketika ia berdiam diri, Tuhan tidak mendorongnya. Inilah pergumulan Yeremia yang paling hebat karena ia harus melawan dirinya sendiri. Yeremia sama sekali tidak menyukai berita yang harus ia sampaikan itu. Tetapi tidak ada jalan lain ia harus menyampaikannya. Yeremia tidak melarikan diri tetapi justru memasuki dan merangkul konflik itu di dalam batinnya. Ia bertahan, berjuang, dan berperang di sana. Tugas berat ini hanya dapat dilakukan dengan solidaritas Tuhan, sekalipun itu nampak dalam bentuk penderitaannya.
Ia memiliki beban yang menimbulkan kekaguman Tuhan, tetapi kekuasaan Tuhan sendiri tidak menyertainya. Tuhan memberi mandat tapi tidak memberi dukungan yang nampak. Kedua, ayat ini menunjukkan keharusan Yeremia untuk terus memberitakan kekuasaan Tuhan dan kebenaran firman-Nya, walaupun diperhadapkan dengan berbagai penderitaan yang mendalam. Saya setuju dengan pandangan McKane[48] yang mengatakan bahwa keharusan itu tidak membatalkan konflik yang mendalam pada diri Yeremia. Brueggemann[49] juga sudah mengatakan bahwa ketika Yeremia berbicara demi menghindari kebencian, ia bahkan semakin merasakan kekalutan karena firman Tuhan bagaikan nyala api yang memaksanya. Kesedihan dan kekalutan dalam batin nabi justru semakin menjelaskan penglihatannya tentang kebenaran firman Tuhan. Dalam semua konflik itu menjadi nyata bahwa firman Allah bukan perkataan manusia. Kekuatan Tuhan lebih besar dari kekuatan Yeremia dalam menjalankan tugas panggilannya sebagai nabi. Keharusan untuk menjalankan tugas panggilannya tidak dapat dielakkan.


j. Ayat 10

Karena itu aku telah mendengar bisikan banyak orang: “Teror dari segala penjuru! Adukanlah dia! Kita mau mengadukan dia!" Semua orang sahabat karibku mengintai apakah aku tersandung jatuh: "Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia!"


Di sini Yeremia mengemukakan alasan mengapa ia memutuskan untuk berhenti dari jabatannya sebagai nabi.[50] Kebanyakan orang (~yBir;) melakukan kekerasan dan membelokkan hukum (bnd. Kel. 23:2).[51] Mereka melakukan kekerasan terhadap dirinya dengan mengolok-oloknya, dan meniru salah satu ucapannya yang paling lazim, “Teror di mana-mana”.[52]
Bahkan sahabat-sahabat karibnya, yakni para imam dan para nabi, berbalik memusuhinya. [53] Mereka berkomplot untuk mencari-cari kesalahan Yeremia dan mengadukannya ke pengadilan dengan tuduhan pengkhianatan dan penipuan di depan umum (Yer. 26:11). Parahnya, dalam ungkapan WNM,mi Wntem'q.nI hx'q.nIw>, “dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia”, terkandung maksud yang lebih mengerikan, yakni pembalasan musuh-musuhnya yang mengatasnamakan atas nama Tuhan. Holladay[54]mendukung pendapat Mendenhall dengan mengatakan bahwa musuh-musuh Yeremia berusaha untuk melakukan pembalasan terhadap diri Yeremia, manusia itu, berdasarkan kepentingan Tuhan. Musuh-musuhnya berharap bahwa mereka melakukan apa yang Tuhan telah lakukan – menipu dan mengalahkannya (ay. 7, 10). Hal itu terjadi selama tahun keempat pemerintahan Yoyakim.[55]
Dalam situasi yang dihadapi Yeremia saat itu sudah sulit untuk membedakan kawan dan lawan, keluarga dan musuh, nabi-nabi benar dan nabi-nabi palsu, mana pemimpin yang berpihak kepadanya dan mana yang tidak.[56] Semuanya melakukan tindakan kekerasan sebagai balas dendam terhadap Yeremia.[57]

k. Ayat 11

Tetapi TUHAN menyertai aku seperti pahlawan yang gagah, sebab itu orang-orang yang menganiaya aku akan dihancurkan sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Mereka akan menjadi malu sekali, sebab mereka tidak mempunyai pengetahuan, suatu noda yang selama-lamanya tidak terlupakan!

Penggunaan w: pada kata hw"hyw: menunjukkan adanya transisi dari ayat-ayat sebelumnya.[58] Pengakuan ini beranjak dari ratapan dan keluhan kepada kepercayaan dan keyakinan yang sangat kuat. Dalam ayat ini Yeremia memiliki keyakinan yang kuat bahwa Tuhan bukanlah musuhnya. Musuh-musuhnya tidak akan dapat menguasai dirinya, karena kekuatan Tuhan sedang diarahkan kepada musuh-musuhnya. Menurut Craigie,[59] ungkapan #yrI[' rABgIK., yang secara tradisonal diterjemahkan dengan “prajurit yang menakutkan, pemenang yang menakutkan”, merupakan gambaran kekuatan Tuhan yang telah berjanji kepada Yeremia.
Dengan demikian, meskipun Yeremia berada dalam kegelisahan dan kebingungan, namun ia tidak memberi kesempatan dirinya berada dalam keputusasaan. Berbagai tindak kekerasan boleh menimpanya, tetapi tidak berarti ia kehilangan keyakinan.
Janji penyertaan Tuhan yang abadi dari pengalaman panggilannya sebagai nabi (Yer. 1:8, 19), kembali membangkitkan semangatnya: “Tuhan menyertai aku” (ytiAa). Nichol[60] melihat pernyataan ini sebagai keyakinan Yeremia yang masih tegas kepada Allah. Sementara yang lainnya melihat pernyataan itu sebagai keyakinan akan pembebasan Allah.[61] Keyakinan itu bertentangan dengan keluhan dalam ayat-ayat sebelumnya. Mengingat pada awalnya Tuhan telah dituduh karena ketidaksetiaan-Nya (ay. 7), sekarang kesetiaan yang penuh kuasa dari Tuhan dirayakan. Menurut Kimchi, [62]dalam turun naiknya keyakinannya, Yeremia mengucapkan kata-kata yang menusuk dan manantang musuh-musuhnya. Ia memperkirakan kegagalan rencana mereka dan rasa malu mereka yang tidak akan dapat perbaiki lagi. Musuh-musuhnya boleh memburunya dalam keganasan, tapi mereka akan tersandung dan usaha mereka akan gagal, karena Tuhan menyertainya (Yer. 1:19).
Munculnya frase WlyKif.hi al{, “sebab mereka tidak berhasil”, adalah bukti kegagalan musuh-musuh Yeremia melawan kekuatan Tuhan. Para komentator modern (Duhm, Ehrlich, Bright, Weiser) sudah menyetujui bahwa kegagalan itu disebabkan oleh tindakan musuh-musuh Yeremia yang kurang terampil dan kurang berhasil.[63] Namun, saya menilai pandangan ini terlalu dilunakkan jika membanding konteks Yeremia. Saya setuju dengan McKane[64]yang memahami frase WlyKif.hi al{ dengan kurang pengetahuan. Artinya, ada kebutaan dalam sifat kedengkian dari para penentang Yeremia. Tindakan demikian merupakan sifat ketidaramahan berbagai pemikiran yang dipenuhi oleh kegelapan, dan tidak adanya kesanggupan persepsi tentang kebenaran. Keyakinan Yeremia ialah kebenaran akan menang. Para pelaku tindak kekerasan tidak akan menang atasnya.

l. Ayat 12

Ya TUHAN Yang Mahakuasa, yang menguji orang benar dan yang melihat batin dan hati, biarlah aku melihat pembalasan-Mu terhadap mereka, sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku.

Ayat ini mengekspresikan kembali keyakinan pada ayat sebelumnya. Keyakinan Yeremia akan kekuatan Tuhan dapat mengatasi kembimbangannya (bnd. Yer. 11:20). Karena baginya, Tuhan adalah “Tuhan para serdadu”, sebuah julukan umum dan yang cukup mirip dengan “pahlawan yang membangkitkan rasa hormat”.[65]
Munculnya frase blew" tAyl'k. ha,ro qyDIc; !xeBo, “yang menguji orang benar, yang melihat batin dan hati”, adalah penegasan Yeremia tentang kekuatan Tuhan yang sanggup menyelidiki dan menguji hati dan batin manusia.[66] Hanya Allah yang menguji hati dan memberi umat apa yang pantas mereka dapatkan.[67] Yeremia tidak meminta rahmat kebebasan, tapi hanya penyelesaian perkaranya dengan adil. Dia meminta pembalasan atas kesetiaannya yang teguh. Petisi itu disampaikan dalam frase ^t.m'q.nI ha,r>a,, “biarlah aku melihat pembalasan-Mu”. Dia berdoa bagi pembalasan yang diminta para musuhnya (ay. 10). Yeremia tidak melakukan balas dendam melalui tangannya sendiri. Ia hanya berdoa agar Tuhan bisa melakukan pembalasan yang sesuai dengan sifat Tuhan sendiri. Menurut Mendenhall dan Susan Jacobi, pembalasan ini bukan kesewenang-wenangan dan tak berdisiplin, tetapi perwujudan aturan hukum. Lanjutkan dengan Brueggemann!
Doa Yeremia merupakan tindakan kelemahan dan kekuatan. Yeremia sadar bahwa ia lemah dan tak berdaya. Ia tidak dapat menang. Fishbane[68] telah melihat bagaimana kata “menang” mendominasi ayat 7-11. Yeremia berdoa agar Tuhan menjadi sekutunya dan bukan musuhnya. Sebab jika Tuhan menjadi pembelanya, ia sungguh yakin dengan kebenaran dirinya, baik karena ia tidak bersalah maupun karena Tuhan sangat berkuasa (bnd. 2 Kor. 11:30; 12:9). Hanya doanya yang dapat menghadirkan dan menggugah Tuhan untuk menyertainya.[69]

m. Ayat 13

Menyanyilah untuk TUHAN, pujilah TUHAN! Sebab ia telah melepaskan orang sengsara dari tangan orang-orang yang berbuat jahat.

Keyakinan Yeremia pada ayat 11a dan 12a berlanjut dengan kesimpulan pujian pada ayat 13.[70] Brueggemann[71] mendukung pandangan Clines dan Gunn dengan menyatakan ayat ini sebagai keyakinan pembicara yang sangat mendalam akan jawaban Tuhan. Pengakuan ini bergerak secara dramatis dalam empat langkah: keluhan, kepercayaan, permohonan, dan pujian.
Yeremia tidak bisa menemukan kepuasan dalam hubungannya dengan masyarakat. Ia akhirnya digerakkan kepada Allah sebagai satu-satunya sumber keamanan dan kekuatannya. Di hadapan Allah dia menjadi sadar akan persoalan kehidupannya yang mendalam, dan yang tidak dapat dihindari. Di sini Yeremia beralih untuk memuji Allah karena dia menemukan Tuhan sebagai yang memadai, yang dapat diandalkan, yang hadir, dan yang menentukan. Kebenaran yang diungkapkannya walau dalam suasana kebencian yang memuncak memungkinkan pujian dan solidaritas dengan Allah.
Craigie[72] memahami ungkapan hw"hy>-ta, Wll.h; hw"hyl; Wryvi, “Menyanyilah untuk Tuhan, PujilahTuhan”, sebagai kutipan Yeremia dari salah satu nyanyian pujian yang terkenal. Nicholson[73] memperjelas apa yang dimaksudkan Craigie dengan mengatakan bahwa mazmur ratapan sering mengandung atau berakhir dengan pernyataan keyakinan (bnd. Mzm. 6:8-10). Jadi, meskipun pada saat tertentu Yeremia berada dalam keputusasaan, namun pada saat yang lain ia dapat berkata, “Menyanyilah untuk Tuhan, pujilah Tuhan!”.[74]
Yeremia yang sudah menang dalam perjuangannya beranjak dari keraguan kepada pujian. Ia adalah contoh seorang “miskin” (!Ayb.a,) yang nyawanya telah dilepaskan orang-orang yang berbuat tindak kejahatan dan kekerasan.[75]

n. Ayat 14

Terkutuklah hari ketika aku telah dilahirkan! Biarlah jangan diberkati hari ketika ibuku telah melahirkan aku!

Keseluruhan 14-18 merupakan puncak penderitaan Yeremia. Dengan kata-kata bernada marah dan pahit Yeremia bahkan mengutuki hari kelahirannya sendiri. Ada anggapan bahwa munculnya ungkapan “terkutuklah hari itu” menunjuk kepada pembalikan pesan ucapan selamat ulang tahun.[76] Tetapi menurut saya, anggapan ini sulit dibuktikan. Teks Perjanjian Lama tidak pernah menceritakan tentang seseorang yang berulang tahun. Hanya Ayub 3 yang sering digunakan untuk membenarkan anggapan di atas. Tetapi Ayub 3 pun sebenarnya berbicara tentang kutukan dan bukan perayaan ulang tahun. Ihromi bahkan melihat penekanan lain dari Ayub 3. Ia mendukung pendapat Friedrich Horst dengan mengatakan bahwa titik berat gubahan Yeremia terletak pada kata ’arur, “terkutuk”, sedangkan dalam Kitab Ayub pada kata lamma, “apa sebabnya”.[77] Dubbink[78] melihat ungkapan ini sebagai gambaran tentang peristiwa-peristiwa kelahiran dalam ayat 15 dan 17. Ia mendukung pandangang Holladay dengan mengatakan bahwa kelahiran seorang anak laki-laki menunjukkan kontinuitas sebuah generasi, dan oleh karena itu menunjuk kepada masa depan.[79] Karena alasan ini pula, maka Kimchi sudah mengatakan: “Ada kegembiraan bagi seorang anak laki-laki, tetapi kesedihan bagi seorang anak perempuan”.[80]
Yeremia mengutuki hari kelahirannya karena tekanan yang terus-menerus dialaminya. Menurut Timothy A. Lenchak,[81] kutukan merupakan salah satu ratapan yang bertolak dari keputusasaan sampai kepada keyakinan dan kembali lagi kepada keputusasaan. Yeremia tampaknya berada pada titik terendah. Secara jelas ia tidak menginginkan kelahirannya. Perkataan-perkataan Yeremia ini menunjuk kepada periode krisis besar, seperti ketika ia dipukul dan dimasukkan ke dalam pasungan (Yer. 20:1-16) atau ketika ia dimasukkan ke dalam perigi (Yer. 38:1-13).
Calvin[82] melihat dari dua sisi kutukan Yeremia di sini. Di satu sisi, Yeremia mengutuki hari kelahirannya, karena ia melihat semua kerja kerasnya sia-sia. Apa yang ia jumpai ialah fitnahan dan celaan terhadap kebenaran Allah. Pada sisi lain, ia melihat situasi saat itu penuhi dengan dosa dan kekerasan terhadap dirinya. Yang terjadi ialah orang yang percaya kepada Tuhan diperlakukan dengan kejam. Yeremia tersentuh dengan begitu banyak penderitaan yang dialami oleh sesamanya.
Dengan demikian, kita tidak dapat mengurangi tafsiran mengenai penderitaan dan kesepian pribadi Yeremia sebagai nabi. Yeremia mengutuki hari kelahirannya bukan saja karena beban jabatan kenabiannya, atau merasa ditinggalkan oleh Allah, tetapi juga karena pergumulan nabi dengan bangsanya. Tegasnya, puncak penderitaan Yeremia di sini bukan hanya karena kesetiaannya kepada panggilan Allah, tetapi juga karena rasa solidaritasnya dengan orang-orang sebangsanya. H. Seidel dan H.W. Wolff berpendapat bahwa jabatan nabi dan kesepian selalu bergandengan.[83] Ihromi bahkan menekankan kesepian yang radikal, artinya sampai ke akarnya: kesepian nabi yang ditentukan oleh solidaritas nabi.[84]

o. Ayat 15

Terkutuklah orang yang telah membawa kabar baik kepada bapaku dengan mengatakan: "Seorang anak laki-laki telah dilahirkan bagimu!" yang telah membuat dia bersukacita dengan sangat.

Ayat ini masih merupakan lanjutan kutukan Yeremia tentang hari kelahirannya dalam ayat 14. Perhatian Yeremia dalam ayat 15 masih di sekitar penderitaan yang tidak ditanggungnya, dan karena itu, ia menginginkan agar kelahirannya tidak pernah terjadi.
Yeremia mengutuk orang yang membawa kabar tentang hari kelahirannya, karena ia menginginkan agar kelahirannya tidak diberitakan. Bagi Yeremia, hari kelahiran bukan lagi diakui sebagai suatu peristiwa yang menggebirakan dan sesuatu yang penuh harapan, melainkan sudah dianggap sebagai awal dari malapetaka.[85] Hari kelahirannya tidak berguna lagi pada waktu masyarakat hancur: “Terjadilan pada hari itu seperti kota-kota yang ditunggangbalikkan Tuhan tanpa belas kasihan” (ay. 16).[86]
p. Ayat 16

Terjadilah kepada orang itu seperti kepada kota-kota yangmana TUHAN telah tunggangbalikkan dalam kemurkaan dan tanpa menyesal! Didengarnyalah kiranya teriakan pada waktu pagi dan hiruk-pikuk pada waktu tengah hari!

Ayat ini merupakan bagian dari luapan keputusasaan Yeremia. Kutukan terhadap laki-laki itu diperluas dalam ayat 16 dengan gambaran kutukan yang tampaknya bersifat menyeluruh. Lundbom[87] melihat kutukan ini sebagai kutukan yang lengkap. Merujuk kepada Yeremia 23:14, Prijs memahami kelahiran Yeremia sebagai tanda penghakiman bagi umat Allah. Umat itu akan mengalami nasib yang sama seperti Sodom dan Gomora.[88]
Yeremia melihat kota Yerusalem dan Yehuda bagaikan Sodom dan Gomora, yakni kota-kota yang dianggap paling jahat dan berdosa. Jika Yeremia berbicara tentang penghakiman Allah atas Yerusalem dan Yehuda berarti penderitaan, kesedihan, dan rasa malu merupakan bencana nasional sebanyak penderitaan pribadinya.[89]
Ia menderita korban kekerasan, kekejaman, ejekan, hinaan, dan usaha pembunuhan bukan karena kepentingan pribadinya, melainkan karena kebobrokan umat Allah. Ia menderita karena kekerasan dan kekejaman yang dianggap biasa oleh umat Allah. Bahkan ia menderita karena Yerusalem bakal dihancurkan identitasnya dengan pembuangan ke Babel.

q. Ayat 17

Karena ia tidak membunuh aku selagi di kandungan, sehingga ibuku menjadi kuburunku, dan ia mengandung untuk selamanya.

Ayat ini kembali menekankan kutukan seperti pada ayat 14 dan 15. Rudolph mengatakan bahwa Yeremia melihat hari kelahirannya sebagai musuh yang harus bertanggung jawab atas kehidupannya yang penuh dengan penderitaan.[90]
Yeremia sekali lagi mengatakan bahwa akan lebih baik jika ibunya tidak melahirkannya, melainkan tetap mengandungnya untuk selamnya. Dubbink mendukung von Rad dengan mengatakan bahwa ungkapan “rahim” harus dilihat secara lebih realistis: Yeremia tidak hanya menilai ketiadaan makna keberadaannya sekarang tetapi juga keseluruhan hidupnya sejauh yang ia bisa ingat kembali, kelahirannya dan bahkan sebelum ia dilahirkan. Keseluruhan hidupnya sangat bertentangan janji-janji Tuhan ketika ia dipanggil menjadi nabi dari dalam kandungan ibunya (Yer. 1:5; bnd. Mzm. 22:9-10; 71:6; 131:2). Tegasnya, tugas kenabian dan kehidupan Yeremia terjalin satu dengan yang lain, keputusasaannya di sini sangat kelam.[91]

r. Ayat 18

Mengapa seperti ini aku telah lahir dari kandungan, melihat hanya penderitaan dan kedukaan, sehingga hari-harikuhabis berlalu dalam malu?

Pengakuan Yeremia berakhir dengan pertanyaan besar “mengapa”, suatu pertanyaan yang tidak terjawab. Kemungkinan-kemungkinan tidak dibatasi untuk menafsirkan mengapa pertanyaan Yeremia di sini tidak terjawab.[92] Di sini kita berhadapan dengan maksud-maksud Allah yang tersembunyi sehingga Yeremia sendiri tidak tahu mengapa pertanyaannya tidak dijawab.[93] McKane berpendapat bahwa berbagai bentuk kehidupan Yeremia benar-benar menggambarkan nasibnya yang tidak dapat diubah. Bagian ini sama sekali tidak harus dipahami sebagai sikap menyerah terhadap keputusasaan semata yang merupakan suatu sikap sementara, suatu masa di mana kelemahan dan kegagalan tidak mendukung penglihatan kenabian Yeremia tentang kebenaran. Yeremia memahami apa yang sedang terjadi atas Yehuda dan pengetahuannya ini terjadi dalam berbentuk penderitaan kehidupan pribadinya.
McKane mendukung penafsiran Prijs dengan mengatakan bahwa keputusasaan Yeremia bukan merupakan sikap sementara, melainkan suatu ancaman yang selalu hadir, suatu jurang yang sangat dalam dan tak dapat diukur yang selalu dilalui oleh nabi. Keyakinan bahwa ia telah lahir sebagai manusia dalam rencana kebenaran Allah di sekitar nasib komunitas umatnya sendiri bukan hal yang gampang dipertahankan. Itu merupakan suatu beban yang sudah menjadi tanggungan dan suatu kebenaran yang sudah ditegaskan ketika naik turunnya keputusasaan meliputinya. Naik turunnya keputusasaan Yeremia sudah merupakan bagian dari kehidupannya dan yang akan menjadikannya menderita sampai akhir.
Akhir pengakuan Yeremia ini menunjukkan betapa mahalnya harga kebenaran firman Allah. Allah tidak menjawab prtanyaan Yeremia di sini supaya lengkaplah penderitaan Yeremia hamba Allah itu. Yeremia mau tidak mau harus menderita karena panggilannya itu. Ia menderita demi panggilan dan solidaritasnya dengan penderitaan umat Allah yang mengalami tindak kekerasan di mana-mana.

2.7 Maksud teks Yeremia 20:1-18
Dalam Yeremia 20:1-18 kita memperoleh gambaran yang mendalam tentang harga sebuah pelayanan kenabian. Pelayanan Yeremia sebagai seorang nabi melibatkannya dalam penderitaan yang luar biasa. Kesetiannya memikul tanggung jawab dengan benar harus menanggung banyak resiko. Karena ia bernubuat tentang kebenaran firman Tuhan bahwa Tuhan akan mendatangkan malapetaka atas kota Yerusalem, maka sesama penduduk Yeremia di Yerusalem, berusaha menyingkirkan bahkan membunuhnya. Ia dengan jelas menjadi korban kekerasan masyarakatnya, terutama para penguasa,[94] yang menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Perlawanan Yeremia terhadap Pashur merupakan indikator kecil (Yer. 20:1-6), tetapi memiliki makna yang besar untuk membuktikan kebenaran tentang kekerasan para penguasa yang dilakukan dengan rapi dan secara terencana. Pertentangan Yeremia dengan Pashur tentu tidak terpisahkan dari perbedaan ciri gerakan kenabian dan keimamatan sebagaimana dirumuskan oleh John Madeley. Nilai (value) dengan tandas dilekatkan pada bahu para nabi. Sementara itu kepentingan (interest) menjadi urusan para imam yang memiliki tanggung jawab dalam pemeliharaan institusi.[95]
Sama seperti pertentangan Amos dengan Amazia, pertentangan Yeremia dengan Pashur pun Pashur merupakan kenyataan faktual akan ketegangan atau lebih tepat disebut pertarungan antara kenabian dengan penguasa. Perterungan itu tidak tanggung-tanggung, sebab menyentuh substansi yang sangat teologis. Perlawanan Yeremia merupakan tohokan tajam terhadap Pashur yang menempatkan dirinya sebagai alat dan mesin politik penguasa atau kekuasaan. Imam Pashur telah menempatkan dirinya menjadi alat kejahatan kekuasaan, langsung atau tidak langsung, oleh semua pemimpin Yerusalem yang telah meninggalkan Allah.
Pashur sebagai aparat hukum dan alat penegak hukum atau istilah Davidson “Tuan Hukum” (lih. tafsiran ayat 1) seharusnya bertanggung jawab menegakkan hukum dan aturan dalam Bait Allah dan sekitarnya (Yer. 29:26; bnd. Am. 7:10-17). Tetapi ia melakukan yang sebaliknya. Ia bertindak di luar hukum Tuhan dengan memukul Yeremia, Nabi Tuhan. Tindakan ini merupakan tindakan melawan Allah.[96] Calvin menyebutnya sebagai tindakan penghinaan terhadap Allah.[97]
Penamaan kembali imam Pashur oleh Yeremia merupakan suatu tindakan yang berani. Yeremia mau menegaskan kalau ia memiliki kekuasaan atas imam Pashur. Sebagai juru bicara Allah ia meiliki otoritas, entah imam Pashur dan pemimpin Yerusalem mengakuinya atau tidak.[98] Calvin memahami penamaan imam Pashur dengan “Teror di mana-mana” ialah untuk memaksa Pashur dan sahabat-sahabatnya mengakui kuasa Allah.[99]
Bracke[100] mengatakan bahwa sekeras apa pun pertentangan antara Yeremia dengan Pashur, kepentingan yang sesungguhnya dari Yeremia bukanlah pada Pashur semata, melainkan kepemimpinan Yerusalem yang telah meninggalkan Allah (Yer. 20:4-5). Yeremia menyampaikan bahwa Allah akan menyerahkan semuanya ke raja Babel, yang akan menguasai Yehuda sama seperti Yeremia menguasai imam Pashur.
Yeremia yang tidak pernah pernah terikat dengan dengan sistem dan kekuasaan mana pun, dan yang hanya melekat pada nilai keagamaan yang dianutnya, memiliki sikap yang sangat tegas: tidak ada yang absolut dan sakral selain Tuhan. Wacana teologi yang dipertaruhkan Yeremia adalah Tuhan, Allah Israel, diakui sebagai Allah bangsa Israel atau sebagai Pencipta dunia, Sumber dan Dasar kebajikan, keadilan, dan kebenaran.[101]
Yeremia mengganti nama Pashur menjadi “Teror dari segala penjuru”, karena di mata Yeremia sudah terjadi pembalikan teologi perjanjian oleh Pashur. Menurut Holladay, apa yang dimaksudkan Yeremia dengan magor missabib adalah pembalikan seluruh kepercayaan terhadap perjanjian kuno: janji penciptaan (Yer. 4:23-26), perjanjian Sinai, dan janji kepada bapa leluhur Israel.[102] Bagi Holladay, meskipun peristiwa Abraham dan Yakub tidak berhubungan langsung dengan Yeremia, namun hal itu nyata dalam nubuat-nubuatnya. Sebagai contoh, perjanjian dengan Yakub dalam Kejadian 35:10-12 dapat dibandingkan dengan Yeremia 20:3-4.
“Firman Allah kepadanya: ‘Namamu Yakub; dari sekarang namamu bukan lagi Yakub, melainkan Israel, itulah yang akan menjadi namamu’. Maka Allah menamai dia Israel. Lagi firman Allah kepadanya: ‘Akulah Allah Yang Mahakuasa Beranakcuculah dan bertambah banyak; satu bangsa, bahkan sekumpulan bangsa-bangsa, akan terjadi dari padamu dan raja-raja akan berasal dari padamu. Dan negeri ini yang telah Kuberikan kepada Abraham dan kepada Ishak, akan Kuberikan kepadamu dan juga kepada keturunanmu” (Kej. 35:10-12).[103]

Dengan ini jelas kaum bapa leluhur Israel mendengar nama mereka diubah akan menjadi bangsa yang besar; mereka akan bertambah banyak, dan suatu perjanjian akan dibuat dengan mereka dan keturunan mereka setelahnya; dan secara khusus bagi Abraham dan keturunannya akan diberikan tempat persinggahan, tanah Kanaan.
Tetapi dalam penglihatan Yeremia terdapat suatu kegagalan besar yang sedang terjadi. Yakub/Israel tidak lagi berkembangbiak atau berhasil menjadi bangsa yang besar, menjadi berkat, menjadi bahagia dan aman, melainkan yang terjadi adalah kekerasan: teror, permusuhan, dan pembuangan (magor) dari segala sudut pandang (missabib). Dusta dan ketidakbenaran merajalela di negeri Yehuda dan Yerusalem. Para pemimpin dan seluruh bangsa melangkah dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lain, karena mereka tidak mengenal Tuhan. Perjanjian Allah sungguh merupakan surat mati, dan Allah menarik kembali kesuburan umat-Nya. Sekarang Pashur menjadi simbol teror dari segala sudut pandang.
C.R. North[104] juga menyatakan Yeremia 9:3 sebagai sorotan Yeremia tentang pembalikan perjanjian bapa leluhur, khususnya perjanjian bagi Yakub:
“Mereka melenturkan lidahnya seperti busur; dusta dan bukan kebenaran merajalela dalam negeri; sungguh, mereka melangkah dari kejahatan kepada kejahatan, tetapi TUHAN tidaklah mereka kenal”.

Mendukung pendapat Holladay di atas, Brueggemann mengatakan bahwa Bait Allah bukan lagi membawa salom, melainkan membawa teror (bnd. Yer. 6:25). Bait Allah (yang diwakili Pashur) dan seluruh kota sudah berwujud teror, dan tidak ada akgi kedamaian. Bait Allah tidak dapat menjaga dan memelihara janji-janjinya di hadapan Tuhan. Seluruh sistem dalam negara dinilai gagal total. Para pejabat Bait Allah adalah musuh-musuh firman Allah. Mereka mengucapkan salom, tetapi yang terjadi adalah teror. Sahabat-sahabat Yeremia pun menjanjikan, “Damai! Damai!”, tetapi tidak ada damai sejahtera (Yer. 6:14).[105] Scott juga memahami nama yang diberikan Yeremia kepada Pashur, “Teror dari segala jurusan”, sebagai singkatan pengaduannya dalam ayat 3-4. Menurutnya, nama baru ini merupakan permainan kata – sedaqa, seaqa – yang sama dengan Yesaya 5:7:[106]
“… dinanti-Nya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran”.

Apa yang dilontarkan Hosea kembali dilontarkan Yeremia. Sebelumnya Hosea sudah mengecam pelanggaran terhadap hukum perjanjian Allah ketika ia mengatakan:
“Dengarlah firman TUHAN, hai orang Israel, sebab TUHAN mempunyai perkara dengan penduduk negeri ini, sebab tidak ada kesetiaan dan tidak ada kasih, dan tidak ada pengenalan akan Allah di negeri ini. Hanya mengutuk, berbohong, membunuh, mencuri, berzinah, melakukan kekerasan dan penumpahan darah menyusul penumpahan darah. Sebab itu negeri ini akan berkabung, dan seluruh penduduknya akan merana; juga binatang-binatang di padang dan burung-burung di udara, bahkan ikan-ikan di laut akan mati lenyap” (Hos. 4:1-3).

Situasi yang demikian parah itu sangat menonjol pada masa pemerintahan Yoyakim. Sangat mungkin, Yeremia 22:13-19 adalah pernyataan yang paling pedas yang pernah dilontarkan oleh nabi. Sebegitu jauhnya raja Yoyakim, tampaknya, melupakan kesejahteraan rakyatnya dengan menghambur-hamburkan uang untuk membangun suatu istana baru, dengan menggunakan pekerja-pekerja rodi untuk tujuan tersebut. Sambil menunjuk bahwa perbuatan itu tidak sesuai dengan teladan ayahnya, Yosia, model yang seharusnya diturutinya, Yeremia menganggap Yoyakim tidak pantas untuk memerintah. Ia berbeda dengan ayahnya yang mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil.[107]
Pemerintahannya ditandai dengan banyak tindakan kekerasan dan pertumpahan darah. Ia bertindak lalim dan jahat terhadap rakyatnya (Yer. 22:13-19).[108] Tidak mengherankan jika masa pemerintahan Yoyakim adalah saat-saat di mana orang-orang yang tak berdaya mengalami banyak penderitaan dan kegelisahan yang paling dalam, seperti yang terungkap dalam beberapa pengakuan Yeremia, termasuk Yeremia 20:7-18.
Dalam pengakuannya, Yeremia hendak menyatakan hubungan timbal balik dengan Tuhan yang diliputi kemesraan batin tanpa mungkin merasa terlepas dari bangsanya, yang berada dalam konflik dengan perjanjian ilahi. Menurut Ihromi,[109] kita harus dapat memperhatikan dimensi solidaritas nabi pada bagian ini, sementara kita berhadapan dengan pemebritaan-pemberitaan hukuman yang disampaikan oleh nabi yang begitu tak kenal kompromi. Dari kegiatan-kegiatan Yeremia yang terutama diceritakan dalam bagian-bagian prosa dari Kitab Yeremia dapat kita perhatikan pula, bahwa ia sangat melibatkan diri dalam persoalan-persoalan yang aktual di tengah-tengah bangsanya. Kita dapat duga corak kegiatannya yang melihat lebih dari orang-orang sezamannya laingit makin mendung di ruang hidup solidaritas bangsanya.
Pergumulan Yeremia yang dilukiskan dalam pengakuannya baru dapat kita pahami, apabila nabi itu berbicara atas nama Tuhan (Yer. 20:9) sekaligus tidak dapat dipisahkan dari bangsanya.
Ayat 14-18 menegaskan kembali solidaritas nabi dengan bangsanya dalam realitas kekerasan. Menurut Ihromi,[110] resiko untuk meninggalkan kesan yang sangat merendahkan nabi masih dapat ditahan oleh Yeremia. Yang tidak dapat ditahan oleh itu nabi itu ialah apa yang disaksikannya pada senja hidupnya, yaitu penghancuran bangsanya pada tahun 587 sM. Kutukan pribadi dicetuskan dalam penderitaannya demi kematian bangsanya yang tak tertolong lagi. Dengan demikian penempatan syair ketiga ini pada komposisi itu dapat dilihat sebagai ekspresi yang lebih parah dari pada keluh kesah karena jabatan dan rasa kegagalan, sementara nabi masih mempunyai kesempatan untuk memberi peringatan kepada bangsanya.[111]
Dari pergumulan Yeremia yang merupakan sari dari sejarah hidupnya kita dapat simpulkan pula bahwa kesepian masih ditahan, selama kesempatan ada untuk memberikan peringatan sebagai ekspresi solidaritas nabi; kesepian tak tertahan, sesudah kesempatan itu tidak ada lagi.[112]
Kita dapat bertanya, apa sebabnya Yeremia, yang juga mampu meluapkan hatinya yang hangat dalam keyakinannya yang teguh mengenal pembaharuan perjanjian (Yer. 31:31 dst.), dalam keterlibatannya dengan kenyataan hidup ia begitu garam (bnd. Yer. 15:17)?
Paling sedikit kita harapkan berita kegairahan Yeremia atas suatu perumusan Deuteronomis yang berasal dari zamannya, yang begitu azasi untuk solidaritas. Permusan itu dapat kita singkatkan: Engkau bekas budak di Mesir; jangan memperbudak siapa pun, termasuk mereka yang lemah dalam masyarakat (bnd. Ul. 5:15; 15:15; 24:18). Ini adalah penyimpulan pengalaman sejarah yang dapat mengabdikan bangsanya sebagai sumbangan universal. Sekalipun pembebasan itu sudah terjadi beratus-ratus sebelumnya, namun peringatan yang diarahkan kepada diri sendiri itu tetap diaktualisasikan. Peringatan pembebasan itu merupakan suatu sumbangan positif pada zaman pembaharuan tekad di sekitar tahun 622 s.M., kira-kira lima tahun setelah Yeremia mulai melibatkan diri dengan masalah-masalah kekerasan dalam masyarakatnya (bnd. Yer. 25:3).[113]
Kitab Yeremia 34:8-34 memang menyinggung tentang maklumat raja Zedekia, raja terakhir dari kerajaan Yehuda (bnd. 2 Raj. 24:17-25:7): maklumat pembebasan untuk melepaskan budak-budak belian dalam masyarakat. Sambutan ilahi dinyatakan dalam ayat 15:
“Hari ini kamu telah bertobat dan melakukan apa yang benar di mata-Ku karena setiap orang memaklumkan pembebasan kepada saudaranya, dan kamu telah mengikat perjanjian di hadapan-Ku di rumah yang atasnya nama-Ku diserukan”.


Sambutan tersebut diucapkan oleh Yeremia. Tetapi nabi ini kemudian mengucapkan sesuatu yang tentu menyakiti hati-hati orang-orang yang lain secara mendalam sekali. Lebih-lebih orang-orang terkemuka, termasuk para rohaniwan (ay. 9) tidak mungkin dapat memaafkan dengan mudah penghinaan, bahwa mereka menajiskan nama Allah (ay. 16).[114]
Yeremia geram disebabkan kegagalan usaha solidaritas itu, karena tekad, niat, dan nazar dengan membawa-bawa nama Tuhan untuk rela membebaskan anggota masyarakat dari kekerasan, tidak direalisasikan. Tetapi dalam geramnya, Yeremia tidak pernah meninggalkan bangsanya. Kepada raja Yoyakim pada masa hidupnya ia hendak mengatakan bahwa ia bersusah payah memberikan peringatan selama 23 tahun (Yer. 25:3), kemudian pada detik-detik terakhir dari sejarah bangsanya, Yeremia sebagai tahanan penjara istana tetap mencoba hendak menolong raja dan bangsanya (bnd. Yer. 38).[115]
Solidaritas nabi dinyatakan dalam keterlibatan nabi dengan bangsanya tanpa diminta lagi, dan sekalipun ditolak. Menurut Mihelic,[116] seluruh hidup dan penderitaan Yeremia merupakan ekspresi kehendak Allah bagi umat-Nya. Sehingga dengan memasuki pengakuan Yeremia kita dapat melihat bukan hanya penderitaan nabi yang paling dalam, tetapi juga penderitaan Allah sekaligus, yakni Allah yang merendahkan diri-Nya untuk menderita bersama-sama dengan manusia yang mengalami penderitaan di dunia ini. Heschel[117] menyebut penderitaan Yeremia sebagai solidaritas penderitaan Allah, atau yang oleh Janzen[118] sebagai solidaritas perjanjian Allah. Tanda yang terbesar dari pada solidaritas Allah dengan manusia ialah kematian Kristus di kayu salib.[119]
Hanya dengan memandang kepada solidaritas perjanjian Allah, maka kekerasan dapat diredam dan ditanggulangi. Yeremia menderita korban kekerasan justru karena ketaatannya kepada hukum perjanjian Allah, dan sekaligus karena solidaritasnya dengan mereka yang menderita korban kekerasan.



[1] Diakses dari internet tanggal 6 Desember 2007
[2] Diakses dari internet tanggal 3 Desember 2007
[3] Diakses dari internet tanggal 6 Desember 2007
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Andar Ismail, Selamat Menabur (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-3, 1997), hlm. 104.
[7] Ibid.
[8] Pengakuan ini sendiri sebenarnya dikemukakan oleh Yeremia ketika bangsa Israel mengalami krisis multidimensional, terutama pada masa pemerintahan raja Yoyakim (609-597 sM), yang menyebabkan bangsa Yehuda berada pada persimpangan jalan, lihat J.A. Thompson, The Book of Jeremiah: The New International Commentary on the Old Testament (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1980), hlm. 23.
[9] Joep Dubbink, “Jeremiah: Hero of Faith or Defeatist? Concerning the Place and Function of Jeremiah 20:14-18”, dalam JSOT 86, 1999, hlm. 67-84.
[10] Nichol menyebutnya sebagai perasaan frustrasi dan kegagalan nabi sebagai juru bicara Allah. Lih. Francis D. Nichol, (ed.). “The Book of the Prophet Jeremiah”, dalam Bible Commentary: The Seventh-day Adventist, vol. 4. (Hagerstown: Review and Herald Publishing Association, 1955, 1977), hlm. 431; Nicholson menyatakan sebagai reaksi nabi yang asli karena caci maki dan tertawaan yang ia temukan dalam tugas panggilan pelayanannya. Nicholson juga mencatat sebagian pandangan Skinner yang mengatakan bahwa firman Tuhan yang menjadi celaan di luar sekarang menjadi siksaan di dalam batin - Tuhan telah memasukkannya ke dalam suatu kesulitan di mana ia tidak dapat menemukan baik jalan keluar maupun pengunduran dirinya. Lih. Ernest W. Nicholson, The Book of the Prophet Jeremiah: Chapter 1-25 (Cambridge: The University Press, 1973), hlm. 169; Davidson menyatakan sebagai keraguan Yeremia yang sangat kuat. Keraguan itu ditimbulkan oleh sikap penentangan dan sikap acuh tak acuh dari pendengarnya, dihantui oleh kegagalan yang tampak dari pelayanannya. Yeremia menemukan dirinya tidak sanggup. Dengan keraguan itu ia bermaksud untuk meninggalkan jalan setapak yang dilaluinya dan berjalan terhuyung-huyung ke dalam hutan rimba siksaan spiritual. Karena berhenti juga bukan jalan menuju kepada kedamaian. Melarikan diri sulit, tetapi tinggal juga tidak mungkin. Allah yang telah meletakkan tangan-Nya atas Yeremia, tidak membiarkannya untuk melarikan diri. Lih. Robert Davidson, Robert. Jeremiah: The Daily Study Bible, vol. 1. Philadelphia: Westminster Press, 1983), hlm. 162.
[11] Menurut Levenson, kata kalkel di sini mempunyai konotasi lain, dan dapat diterjemahkan dengan “makan”. Ia menghubungkan Yeremia 20:9 dengan pemberian kuasa kepada Musa dalam Keluaran 3:2. Semak yang menyala tapi tidak dimakan api memperlihatkan perhatian nabi mengenai masa depan. Perkataan “dimakan” hanya dibedakan oleh penggunaan dages forte. Jika suatu kiasan kepada pemanggilan Musa yang dimaksudkan, maka Yeremia ingin agar Allah mengetahui bahwa korban bakaran yang dimakan api sekarang bukan kelimpahan yang menakjubkan, tetapi semua tulang yang dibebani oleh kewajiban untuk memwujudkannya. Jon D. Levenson, “Some Unnoticed Connotations in Jeremiah 20:9”, CBQ 46 (1984), 223-225.
[12] M.A. Ihromi, Solidaritas Nabi Ditinjau dari Pergumulan Yeremia: Suatu Pendekatan Baru dari Yeremia 20:7-18 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972), 12.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Nicholson juga membandingkan ayat 7 ini dengan Yeremia 15:18 sebagai luapan Yeremia yang paling hebat menentang Allahg. Yeremia memprotes bahwa ia telah ditipu, dibujuk oleh Allah ke dalam suatu tugas yang sangat mendasar tapi berbagai akibatnya disembunyikan bagi dia selama ini. Lih. Nicholson, The Book of the Prophet Jeremiah . . . . . , hlm. 169.
[19] Holladay mengatakan bahwa Yeremia menuduh Tuhan telah memutuskan hubungan yang Ia prakarsai dengan Yeremia. Lih. W.L. Holladay, Jeremiah: Spokesman Out of Time (Philadelphia: United Church Press, 1974), hlm. 552; Keil juga sudah mengatakan bahwa dalam ketertekanannya, Yeremia menganggap karyanya suatu kegagalan. Kegagalan ini menjadi lebih pahit karena ia dibayangi ketakutan bahwa Allah tidak memenuhi janji-Nya ketika Ia memanggil Yeremia menjadi nabi (Yer. 1:8-10). Lih. C.F. Keil, C.F. “The Prophecies of Jeremiah”, dalam Biblical Commentary on the Old Testament, vol. I (tr.). (Grand Rapids: Wm. Eerdmans Publishing Company, 1956), hlm. 413; Snyman mengatakan bahwa ayat 7-9 merupakan keluhan nabi sebagai akibat dari pemanggilannya menjadi nabi. Lih. S.D. Snyman, “A Note on PTH and YKL in Jeremiah XX 7-13”, VT 48 (1998), 559-563.
[20] Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol. II (tr.). (New York: Harper and Row, 1965), 213.
[21] J.G. Janzen, “Jeremiah 20:7-18”, dalam Int 37, 1983, hlm. 179-183.
[22] Ibdi.
[23] Holladay mengatakan bahwa Yeremia memahami Tuhan sebagai kekuatan yang kejam dan kasar, yang menipu, melebihi norma apa pun yang berlaku. Lih. Holladay, Jeremiah ..., 552-553; Brueggemann mengatakan bahwa tuduhan itu hanya untuk menegaskan kekuasaan yang menguasai orang yang berusaha melayani-Nya. Lih. Walter Brueggemann, A Commentary on the Book of Jeremiah 1-25: To Pluck Up, To Tear Down (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1988), hlm. 174.
[24] Rad mendukung Rudolph yang menerjemahkan kata pth dengan “menipu”, yang sebenarnya menggambarkan tindakan memikat dan membujuk seorang gadis – “engkau mendapatkan keuntungan dari kesederhanaanku” (Lih. Rad, OTT, vol. hlm. 58, 204).
[25] Ihromi, Solidaritas ..., 14.
[26] Ihromo, Solidaritas ..., 16.
[27] Ibid., 14.
[28] Ibid., 17.
[29] Ibid.
[30] Ibid., 18.
[31] Ibid.
[32] Mihelic, Int 14, 43-50.
[33] Abraham Heschel, The Prophets, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1862), 118.
[34] J.G. Janzen, “Jeremiah 20:7-18” Int 37 (1983), 179-183.
[35] Rudolph dan Berridge menyatakan bahwa Yeremia sedang menyampaikan hukum yang akan datang kepada bangsa itu: Tuhan akan mendatangkan “Kekerasan dan aniaya” bagi mereka. Dikutip dalam Holladay, Jeremiah ..., 554.
[36] Dalam ibid.
[37] Dalam ibid.; lih. juga Baumgartner, Jeremiah’s Poems of Lament, terj. (1987), 75.
[38] Ibid.; R.P. Carroll, The Book of Jeremiah: A Commentary (London: SCM Press, 1986), 399.
[39] McKane, Jeremiah ..., 472.
[40] Gerhard von Rad, Genesis (Philadelphia: Westminster Press, 1961), 206.
[41] Dikutip dalam ibid., 469.
[42]Rudolph menyimpulkan penanggalan Yeremia 20:7-9 pada masa pemerintahan Yoyakim. Dikutip dalam ibid.; 470.
[43] Calvin, Jeremiah ..., 31.
[44] Dikutip dalam McKane, Jeremiah ..., 473-474.
[45] Ibid.
[46] Nichol menyebutnya sebagai perasaan frustrasi dan kegagalan nabi sebagai juru bicara Allah. Lih. Nichol, Commentary ..., 431; Nicholson menyatakan sebagai reaksi nabi yang asli karena caci maki dan tertawaan yang ia temukan dalam tugas panggilan pelayanannya. Nicholson juga mencatat sebagian pandangan Skinner yang mengatakan bahwa firman Tuhan yang menjadi celaan di luar sekarang menjadi siksaan di dalam batin - Tuhan telah memasukkannya ke dalam suatu kesulitan di mana ia tidak dapat menemukan baik jalan keluar maupun pengunduran dirinya. Lih. Nicholson, Jeremiah ..., 169; Davidson menyatakan sebagai keraguan Yeremia yang sangat kuat. Keraguan itu ditimbulkan oleh sikap penentangan dan sikap acuh tak acuh dari pendengarnya, dihantui oleh kegagalan yang tampak dari pelayanannya. Yeremia menemukan dirinya tidak sanggup. Dengan keraguan itu ia bermaksud untuk meninggalkan jalan setapak yang dilaluinya dan berjalan terhuyung-huyung ke dalam hutan rimba siksaan spiritual. Karena berhenti juga bukan jalan menuju kepada kedamaian. Melarikan diri sulit, tetapi tinggal juga tidak mungkin. Allah yang telah meletakkan tangan-Nya atas Yeremia, tidak membiarkannya untuk melarikan diri. Lih. Davidson, Jeremiah ..., 162.
[47] Menurut Levenson, kata kalkel di sini mempunyai konotasi lain, dan dapat diterjemahkan dengan “makan”. Ia menghubungkan Yeremia 20:9 dengan pemberian kuasa kepada Musa dalam Keluaran 3:2. Semak yang menyala tapi tidak dimakan api memperlihatkan perhatian nabi mengenai masa depan. Perkataan “dimakan” hanya dibedakan oleh penggunaan dages forte. Jika suatu kiasan kepada pemanggilan Musa yang dimaksudkan, maka Yeremia ingin agar Allah mengetahui bahwa korban bakaran yang dimakan api sekarang bukan kelimpahan yang menakjubkan, tetapi semua tulang yang dibebani oleh kewajiban untuk memwujudkannya. Jon D. Levenson, “Some Unnoticed Connotations in Jeremiah 20:9”, CBQ 46 (1984), 223-225.

[48] McKane, Jeremiah ..., 475.
[49] Brueggemann, Jeremiah ..., 175.
[50] Gaebelein, Expositor’s ..., 503.
[51] Ibid.; Holladay bahkan menerjemahkan kata ~yBir; dengan “tidak teridentifikasi”. Lih. Jeremiah ..., 555.
[52] Paterson, Yeremia ..., 204.
[53] R.B.Y. Scott, The Relevance of the Prophets (New York: Macmillan Company, 1968), 100.
[54] Lih. Holladay, Jeremiah ..., 557.
[55] Gaebelein, Expositor’s ..., 503.
[56] McKane tidak dapat mengidentifikasi dengan jelas mana sahabat-sahabat Yeremia dan mana musuh-musuhnya. Lih. Jeremiah ..., 479; Calvin juga mengatakan bahwa hamba Allah yang kudus ini tidak hanya digoda secara terbuka oleh para musuhnya yang terkenal, tapi juga dengan curang ia diintai, dan dengan durhaka ia dikhianati oleh orang-orang yang berpura-pura menjadi temannya, sementara mereka juga adalah musuh yang paling jahat. Lih. Calvin, Jeremiah ..., 37.
[57] Snyman, VT 48, 559-563. , juga mengatakan bahwa para penentang nabi menginginkan agar ia tergelincir melalui tindakan yang tidak benar atau langkah yang salah atau untuk mengatakan sesuatu yang palsu, yang secara jelas bertentangan dengan firman Tuhan yang ia telah beritakan. Dengan demikian mereka dapat melakukan pembalasan terhadap dirinya. Hal ini yang membedakan pengertian kata kerja pth, “menipu” pada ayat 10 dan 7. Motif penipuan dalam ayat 10 mempunyai aspek pembalasan dendam. Sedangkan motif pembalasan tidak tampak pada ayat 7. Para penentang Yeremia bukan hanya menginginkannya supaya ia tertipu dan supaya mereka dapat menang atas dia, tetapi juga mereka ingin melakukan balas dendam terhadap dirinya.
[58] Craigie, dkk., Jeremiah ..., 274-275.
[59] Ibid.
[60] Nichol, Commentary ..., 432.
[61] Nicholson, Jeremiah ..., 170; Brueggemann mencatat dua fungsi penegasan keyakinan Yeremia kepada Tuhan: (1) Keyakinan itu merupakan pernyataan iman yang sejati bahwa kekuasaan Tuhan dapat diandalkan dan dapat diharapkan; 2. Keyakinan itu merupakan motivasi yang terarah kepada Tuhan dan mengingatkan Tuhan tentang karakter dan tanggung jawab-Nya. Ia menghubungkan penegasan keyakinan dalam ayat 11 dengan janji Tuhan, “jangan takut” dalam Yeremia 1:8. Lih. Brueggemann, Jeremiah ..., 175.
[62] Dikutip dalam McKane, Jeremiah ..., 479.
[63] Dikutip dalam ibid.
[64] McKane mendukung pandangan Rudolph yang memahami frase lebih kuat, dalam ibid.
[65] Craigie, dkk., Jeremiah …, 275.
[66] Walther Eichrodt, Theology of the Old Testament, vol. 2, terj. J.A. Baker (London: SCM Press, 1967), 145.
[67] Dikutip dalam Brueggemann, Jeremiah …, 175.
[68] Dikutip dalam ibid.; lih. juga Michael Fishbane, Text and Texture (New York: Schocken, 1979), 91-102, menyatakan bahwa kata yakal muncul empat kali dalam ayat 7-11: “Engkau telah menang” (ay. 7), “aku tidak sanggu” (ay. 9), “kita dapat mengalahkan dia” (ay. 10), dan “mereka tidak dapat berbuat apa-apa” (ay. 11).
[69] Brueggemann, Jeremiah …, 176.
[70] Craigie, dkk., Jeremiah ..., 275.
[71] Brueggemann, loc. cit.; lih. juga Clines dan Gunn, ZAW 88, 390-409.
[72] Craigie, dkk., Jeremiah …, 275.
[73] Nicholson, Jeremiah …, 179.
[74] Lih. Thompson, Jeremiah …, 462.
[75] Studi Ihromi menunjukkan bahwa kata ’ebyon mempunyai kesamaan dengan ’ani dan dal untuk menyebut orang yang lemah dan sengsara, yang menjadi korban kelaliman yang lebih kuat dari padanya (pemuka-pemuka masyarakat, pemerintah, raja, bangsa seasal yang lebih kuat, tuan tanah, dsb.: mis. Yes. 3:14; Yer. 22:16; Yeh. 16:49; Am. 2:7). Lih. Ihromi, “Sedikit mengenai Bahan tentang Orang-orang Miskin menurut Kitab Nabi-nabi”, dalam Karangan-karangan Theologia Sekolah Tinggi Theologia (Jakarta: STT Jakarta, 1973), 4.
[76] McKane (hlm. 483, 486) mendukung penafsiran Duhm dan Lowth dengan mengatakan bahwa yang dikutuk bukan hari kelahiran, melainkan perayaan ulang tahunnya tiap tahun – dengan demikian, keinginan hari lahir yang negatif; tidak ada alasan untuk bergembira bahwa kehidupannya ditambahkan lagi setahun.
[77] Dalam Ihromi, Solidaritas …, 16.
[78] Dubbink, JSOT 86, 67-84.
[79] Dikutip dalam ibid.; lih. juga Holladay, Jeremiah ..., 564.
[80] Dikutip dalam ibid.; juga dikutip dalam McKane, Jeremiah ..., 486.
[81] Timothy A. Lenchak, “Puzzling Passages” CBQ 36 (1998), 226-227.
[82] Calvin (hlm. 46).
[83] Dikutip dalam Ihromi, Solidaritas ..., 17.
[84] Ibid.
[85] McKane, Jeremiah ..., 486.
[86] Ihromi, loc cit.
[87] Lundbom, JBL 104, 589-600.
[88] Dubbink, JSOT 86, 67-84.
[89] Craigie, dkk., Jeremiah ..., 279.
[90] Dubbink, loc. cit.
[91] Ibid.
[92] Misalnya, Craigie, dkk. mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak terjawab karena Yeremia masih percaya dan mengharapkan Allah sebagai satu-satunya sumber jawaban dan pembuktian kebenaran. Lih. Craigie, dkk., Jeremiah ..., 280; Dubbink mengatakan bahwa kehidupan nabi pada masa-masa sekarang tidak dapat ditanggung. Ibid.
[93] Brueggemann berpendapat Yeremia sendiri tidak tahu mengapa pertanyaannya tidak terjawab – karena dasar dan alasannya tersebunyi dalam maksud-maksud Allah. Lih. Brueggemann, Jeremiah ..., 178.
[94] Yang dimaksudkan para penguasa di sini terdiri atas para raja, imam, nabi resmi, hakim, orang-orang kaya, politisi, dan para pimpinan tentara. Lih. Wismoaday Wahono, Pro-eksistensi: Kumpulan Tulisan untuk Mengacu Kehidupan Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-1, 2001), 208.
[95] John T.S. Madeley, Prophets, Priest and Polity: European Christian Democracy in Developmental Perspective (New York: Paragon House, 1986), 336; juga dikutip dalam Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjaun Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-2, 2001), 108.
[96] Hyatt, op. cit., 966.
[97] Calvin, op. cit., 15-16
[98] John M. Bracke, Jeremiah 1-29 (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000), 161.
[99] John Calvin, Commentaries on the Book of the Prophet Jeremiah and the Lamentations (trans: John Owen), Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1950, 20.
[100] Ibid.
[101] Clemnts, op. cit., 124.
[102] Duane L. Christensen (hlm. 498-502) juga melihat keterkaitan ungkapan “magor missabib” pada bagian ini dengan Yeremia 49:5 sebagai pelanggaran terhadap perjanjian Daud; Brueggemann (hlm. 172) bahkan menyatakan sebagai pembalikan semua kepercayaan tentang perjanjian kuno.
[103] Holladay mencatat beberapa refleksi yang lain tentang tradisi bapa leluhur dalam nubuat-nubuat Yeremia, antara lain Yeremia 4:2, “maka bangsa-bangsa akan saling memberkati di dalam Dia” (bnd. Kej. 12:2); Yeremia 15:8, “Janda-janda di antara mereka Kubuat lebih besar jumlahnya dari pada pasir di laut” (bnd. Kej. 22:17; 32:12).
[104] C.R. North, The Old Testament Interpretation of History (London: Epworth, 1946), 42.
[105] Scott, Prophets, 101.
[106] Ibid., 112.
[107] Ibid., 142-145; juga dikutip dalam ibid.
[108] Wahono, op. cit., 174.
[109] Ihromi, Solidaritas ..., 14.
[110] Ihromo, Solidaritas ..., 16.
[111] Ibid., 14.
[112] Ibid., 17.
[113] Ibid.
[114] Ibid., 18.
[115] Ibid.
[116] Mihelic, Int 14, 43-50.
[117] Abraham Heschel, The Prophets, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1862), 118.
[118] J.G. Janzen, “Jeremiah 20:7-18” Int 37 (1983), 179-183.
[119] Ihromi, Solidaritas ..., 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar